POIN NEWS – Satu langkah untuk membangun pemerintahan otoriter tengah dijalankan melalui Menteri Dalam Negeri Jenderal (Purn) Tito Karnavian lewat Surat Edaran (SE) No 821/5292/SJ tanggal 14 September 2022
Surat Edaran itu membolehkan Pelaksana Tugas (Pt), Penjabat (Pj), maupun Penjabat Sementara (Pjs) Kepala Daerah tanpa persetujuan tertulis Mendagri melakukan mutasi atau pemberhentian ASN bila melanggar disiplin dan/atau tindak lanjut proses hukum.
Aneh dan diduga memiliki motif politik tinggi dengan keluarnya Surat Edaran Mendagri di tengah kritik publik.
Bagaimana mungkin adanya ratusan Kepala Daerah baik Gubernur atau Bupati/ Walikota yang ditunjuk langsung oleh Presiden atau Mendagri tanpa proses pemilihan?
Baca Juga:
Jokowi Dorong Lagi Masyarakat Minta Prabowo Lanjutkan Program Bantuan Beras 10 Kilogram Per
Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan Beri Perhatian kepada Relawan, Berpeluang Menjadi Menteri
Demokrasi yang dihancurkan. Motif politik itu tidak bisa dilepaskan dari persiapan, termasuk rekayasa, untuk Pemilu tahun 2024.
Adalah pembohongan publik alasan bahwa perlunya “tanpa persetujuan tertulis” Mendagri karena “persetujuan tertulis” akan memperlambat proses pengambilan keputusan.
Lalu bagaimana Surat Edaran dapat disamakan dengan “persetujuan tertulis” secara umum? Hukum Administrasi yang diabaikan bahkan diinjak injak.
Surat Edaran Mendagri ini menjadi bagian dari bangunan otoritarian karena:
Baca Juga:
2 Orang Jadi Tersangka Termasuk Korlap, Polisi Tangkap 5 Pelaku Pembubaran Paksa Diskusi di Kemang
Senin Ini Kadin Indonesia Beri Keterangan kepada Media Usai Arsjad Rasjid dan Anindya Bakrie Bertemu
RUA RUALB PROPAMI di Mercure Ancol: Evaluasi Kinerja 2023 dan Perubahan AD Terkait KADIN Disahkan
Pertama, kewenangan besar Pt, Pj, dan Pjs adalah pemberian otoritas berlebihan bagi mereka yang hanya berstatus sebagai pejabat “sementara”.
Berbekal Surat Edaran Kepala Daerah “sementara” dapat berbuat sewenang-wenang.
Untuk Kepala Daerah definitif saja masih ada pembatasan kewenangan dan pengawasan kuat dari Mendagri.
Kedua, kewenangan “tanpa persetujuan tertulis” membuka peluang “konsultasi” atau “persetujuan tidak tertulis” atau “instruksi bisik-bisik” Mendagri kepada Kepala Daerah yang ditunjuknya itu.
Baca Juga:
Badan Pangan Nasional dan Stakeholder Pangan Komitmen Turunkan Angka Susut dan Sisa Pangan
Ini konsekuensi dari Pt, Pj, atau Pjs Kepala Daerah yang dipastikan adalah “orang-orangnya Mendagri’.
Ketiga, Surat Edaran (SE) bukanlah peraturan perundang-undangan karenanya hanya instrumen administrasi yang bersifat internal.
Mutasi apalagi pemberhentian ASN adalah tindakan hukum yang harus berbasis pada peraturan perundang-undangan.
Surat Edaran Mendagri No 821/5292/SJ adalah bentuk penyiasatan yang justru melanggar hukum.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Keempat, bagi mereka yang menjadi korban mutasi sekehendak Kepala Daerah atau ASN yang diberhentikan nyatanya tidak memiliki “hak banding” atau mengadu kepada atasan Pt, Pj, Pjs yakni Mendagri.
Menyerahkan kepada proses peradilan akan sangat memberatkan korban.
Adalah cara berpolitik munafik dijalankan dengan Surat Edaran ini. Mendagri cuci tangan atas segala keputusan Kepala Daerah.
Dengan tidak mengeluarkan “persetujuan tertulis” Mendagri membersihkan dirinya sendiri.
Segala kesalahan dibebankan kepada Kepala Daerah “boneka” nya. Ini semua adalah jalan untuk membangun pemerintahan otoriter dengan pola cuci tangan.
Persis sebagaimana gaya Presiden Jokowi yang biasa melempar-lempar tanggung jawab. Mendagri sedang bermain untuk mengamankan prosesi Pemilu 2024.
Democratic policing-nya dijalankan dengan halus dan tersembunyi.
Opini: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Poinnews.com, semoga bermanfaat.