POIN NEWS – Misal, harga cilok internasional adalah Rp 20.000. Kemudian harga keekonomian cilok adalah Rp 14.000. Lantas cilok dijual ke rakyat Rp 8.000.
Maka, berapa sih subsidi cilok? Dari selisih 20.000 ke 8.000? Atau dari selisih 14.000 ke 8.000? Atau jangan-jangan sebenarnya tidak ada subsidinya? Ooh, kok bisa?
Nah, inilah rahasia kecil tentang subsidi. Kenapa? Karena sejak kemarin-kemarin tidak ada yang membahas biaya produksi. Heh, cilok ini bukannya kita produksi sendiri?
Masa’ tinggal ngeduk, dijual dgn harga Internasional? Apalagi dijual sesuai maunya nilai keekonomian perusahaan yg jual?
Karena boleh jadi, biaya ngeduk itu cilok cuma Rp 5.000. Jadi, apanya yg disubsidi? Malah masih untung Rp 3.000!
Paham tidak?
Dalam setiap isu subsidi, kita hanya sibuk bahas harga internasional. Harga keekonomian. Tidak ada yang bahas tentang ssst, bukankah itu cilok ngeduk di tanah rakyat semua?
Lelah memang bicara soal subsidi ini jika kacamatanya selalu bisnis, selalu laba, jual beli ke rakyat.
Karena jika ini logikanya, saat harga minyak goreng 14.000, wah, pemerintah merasa sudah suangat mensubsidi.
Perusahaan-perusahaan sawit sudah merasa suangat hero, mensubsidi. Dia lupa, itu sawit ditanam di tanah milik rakyat.
Biaya bikin minyak gorengnya paling cuma 10.000. Tapi kan, tapi kan harga nginternasional 28.000. Saya mau jual nginternasional. Saya subsidi loh 14.000 itu.
Paham?
Inilah kisah tentang negeri. Yang gas alamnya melimpah kaya raya, tapi LPG impor. Dan saat dijual ke rakyat, pemerintah mengklaim subsidi habis-habisan.
Tiada guna saja ‘gas alam melimpah ruah’. Dan mereka selaluuu saja ada alasan, argumen, penjelasan, oh itu karena bla bla bla…
Pun BBM, meskipun produksi minyak terus turun, ketahuilah, kita itu tetap sebagian besar ngeduk minyak dari tanah rakyat sendiri. Cuma begitulah, muter-muter dulu itu minyak. Biar cuan.
Jadilah Indonesia impor BBM dari Singapura yg secuil pun tak punya minyak. Tapi kan tapi kan… Sibuk tapi.
Lupa jika itu tugas kamu biar jadi simpel dan menguntungkan rakyat! Giliran rebutan kekuasaan, semangat.
Disuruh mikir solusi, eh malah minta ke rakyat solusinya. ‘Jangan kritik doang, kasih solusinya’.
Sejak dulu, teruuuus saja impor BBM dari Singapura (yang minyaknya dari Indonesia juga). Lelet solusinya.
Hampir 10 tahun berkuasa, tetap lelet juga. Kapan kilangmu itu siap proses sendiri semua?
Berpuluh tahun, direksi, komisaris ini ngapain saja sih? Giliran tantiem nyaris setengah trilyun setahun, baru cepat.
Mafia? Ow, masih ada mafia di sana?
Oleh: Tere Liye, penulis novel ‘Bedebah Di Ujung Tanduk’.****