POINNEWS.COM – Sejak awal dibentuk, publik menunggu hasil kerja obyektif dan transparansi Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI.
Yang bekerja berdasarkan tupoksinya sesuai Pasal 33 dan 34 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Spirit dan integritas tersebut harus dikedepankan, agar permasalahan yang terkait dengan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) di Indonesia menemukan solusi terbaik.
Ketimbang memicu polemik yang ditunggangi kepentingan popularitas atau melindungi pihak tertentu.
Baca Juga:
Kongsi Media Luncurkan Portal Bisnis Kengpo.com, Dukung Publikasi Sosial dan Promosi Usaha Komunitas
Kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah, Indonesia akan Tambah Kuota Impor Beras Sebanyak 1 Juta Ton
Demikian disampaikan Koordinator Lembaga Konsumen Muslim Indonesia (LKMI) Suta Widhya SH di Jakarta, pada Rabu, 28 Desember 2022.
Menurut Suta Widhya, ada sejumlah tugas dan fungsi BPKN sesuai yang dipublikasikan di situs resminya, termasuk:
1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
2. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen
Baca Juga:
Presiden Prabowo Subianto Kompak Olahraga Pagi bersama Kabinet Merah Putih di Hari Terakhir Retreat
Gembleng Anggota Kabinet di Magelang, Warga Sambut Prabowo: Selamat Bekerja dengan Ikhlas Pak
3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen
“Jika Tim Pencari Fakta BPKN yang terdiri dari 9 orang tersebut semuanya fokus, obyektif dan transparan dalam melakukan penggalian informasi dan fakta terkait”
“Dan dengan didasarkan pada standar operasional prosedur (SOP) yang lazim digunakan baik untuk pendalaman maupun audit, tentunya hasil akhir dan rekomendasinya akan obyektif,” kata Suta Widhya.
Apalagi pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah menemukan 6 celah dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat dan sudah menyampaikan dengan sangat transparan kepada publik.
Baca Juga:
Bentuk Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, Prabowo Sebut Kesulitan Harus Segera Diatasi
Presiden Prabowo Subianto Umumkan Daftar Lengkap Kabinet Merah Putih, Menteri dan Pimpinan Lembaga
Celah tersebut tentunya dengan mengurai duduk permasalahan mulai dari hulu sampai ke hilir yang melibatkan banyak pihak.
Salah satunya yang sangat terang benderang adalah pemasukan bahan pelarut obat sirop tidak melalui Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM.
“Mestinya mulai ditelusuri dari sini, mengapa praktek melalui mekanisme non larangan terbatas dari otoritas terkait bisa terjadi?,” katanya.
Bahkan bisa didalami lebih intensif lagi apakah ada titik lemah dalam sistem pengadaan obat program di Kemenkes yang dasarnya hanya pada harga termurah pada e-katalog?
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Lebih jauh lagi apa peran dan tanggungjawab industri pelaku atau yang terlibat secara langsung maupun tidak dalam menjaga mutu produk obat berpelarut tersebut.
Karena konon kabarnya jauh hari sebelum kasus GGAPA ini terjadi, GP Farmasi Indonesia pernah bersurat ke BPOM RI untuk minta dibebaskan dari kewajiban memeriksa cemaran dalam bahan baku dan produk jadi demi alasan biaya semata.
“Ini justru harus didalami dan dimintakan pertanggungjawabannya baik secara moral maupun secara hukum,” kata Suta Widhya.
Masalah legalitas dan integritas tugas pokok Tim Pencari Fakta
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mempertanyakan legalitas dan integritas dari TPF BPKN yang harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI sebagaimana diatur pada Pasal 33 dan 34 UU No.8 tahun 1999 ttg Perlindungan Konsumen.
Hal ini terkait dengan pemeriksaan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) di Indonesia.
“Mencermati proses dan mekanisme kerja TPF dalam kaitan dengan kasus gagal ginjal ini, kami masih pertanyakan legalitas dan integritas Tim Pencari Faktanya.
Lazimnya dalam setiap pemeriksaan atau audit investigasi atau audit khusus, prosedur dan mekanisme audit harus dilakukan secara obyektif, transparan, menyeluruh, dan terbuka.”
“Ada tahapan prosedur yang berproses seperti yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan (BPK), BPKP dan Ombudsman,” kata Kepala BPOM RI Penny K Lukito di Gedung BPOM RI, Jakarta, Senin.
Tahapan dan prosedur yang dimaksud di antaranya belandaskan azas proses audit universal adalah proses klarifikasi akhir terkait dengan temuan dengan pihak terkait terutama yang diaudit atau auditee.
Tidak kalah penting adalah hasil audit etisnya disampaikan kepada auditee untuk obyektifitas serta respon tindak lanjut.
Dalam hal ini obyektifitas menyodorkan kesimpulan dari hasil pemeriksaan atau audit yang menjadi solusi atas permasalahan yang terjadi untuk kepentingan publik.
Jangan sampai kerja TPF BPKN ini justru melangkahi kewenangan yang dimiliki oleh instansi Polri.
Karena bisa saja ini diterjemahkan oleh publik sebagai bentuk ketidakpercayaan BPKN terhadap kerja dan kinerja Polri.
“Jika ditanyakan respon BPOM, kami juga tidak tahu yang dikaitkan temuan tersebut, karena hingha saat ini tidak ada tembusan surat dan lamporan hasil kerja TPF BPKN kepada BPOM,” katanya.
6 Celah dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat
Penny mengatakan proses pemeriksaan perlu mengedepankan standar operasional prosedur yang berlaku transparan agar berkeadilan dan tidak menyudutkan salah satu pihak.
BPOM telah mengupayakan pertemuan dengan Tim Pencari Fakta BPKN RI untuk menjelaskan secara detail kasus GGAPA yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan pokok permasalahan yang teridentifikasi dari hasil penelusuran pihaknya.
Hingga saat ini, BPOM telah mengidentifikasi 6 celah dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat dari hulu ke hilir dalam kasus GGAPA yang berkaitan dengan produk obat sirop.
1. Pemasukan bahan pelarut obat sirop tidak melalui Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM, namun melalui mekanisme non larangan terbatas dari otoritas terkait,
2. TIdak adanya ketentuan batas cemaran dalam produk jadi pada Farmakope Indonesia.
3. Sistem pelaporan MESO yang tidak digunakan oleh tenaga kesehatan.
4. Kondisi maturitas industri farmasi yang beragam.
5. Tidak adanya efek jera dari perkara hukum pada kasus kejahatan obat dan makanan
6. Adanya penimbunan bahan baku obat dan perbedaan harga antara pelarut bersandar farmasi dengan standar industri.
“BPOM sudah melakukan tugas sesuai standar yang berlaku dan menyampaikan hasilnya secara transparan apa saja gap (jarak) yang ada dan berproses dalam perbaikan ke depan,” katanya.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Poinnews.com, semoga bermanfaat.