POIN NEWS – Luar biasa. Baru dua tahun berkuasa sudah berpikir memperpanjang masa jabatan.
Dari menunda pemilu sampai menambah periode jabatan. Tentu saja semua ini tidak sah dan melanggar konstitusi. Alias kudeta konstitusi.
Meskipun begitu, segala upaya dilakukan untuk memenuhi nafsu kekuasaan memperpanjang masa jabatan.
Pertama, membangun opini melalui Lab45 dan Lembaga Survei bahwa mayoritas masyarakat masih menginginkan Jokowi sebagai presiden, sehingga diperlukan penundaan pemilu.
Baca Juga:
Kejar Swasembada Pangan, Provinsi NTT Targetkan Pertanaman Sekitar 188.000 Hektare Lahan di 2025
Alasannya, mesin Big Data Lab45 menangkap keinginan masyarakat. Sedangkan Lembaga Survei mengatakan kepuasan masyarakat terhadap Jokowi mencapai 70 persen lebih, bahkan 73,9 persen.
Kedua, propaganda dilakukan oleh menteri investasi Bahlil dan tiga ketua umum parpol Muhaimin Iskandar (PKB), Zulkifli Hasan (PAN) dan Airlangga Hartarto (Golkar).
Mereka kompak minta penundaan pemilu sekitar 1, 2 atau 3 tahun. Ternyata, sambutan masyarakat mengejutkan. rakyat tidak bisa menerima pemerintah melanggar konstitusi.
Perlawanan sengit datang bertubi-tubi, bahkan ada yang menyuarakan revolusi demi mempertahankan konstitusi.
Lembaga survei jadi ciut juga dan langsung cuci tangan.
Baca Juga:
Wamentan Sudaryono Pastikan Daging Sapi dan Kerbau Aman dan Terkendali, Jelang Bulan Suci Ramadhan
Mereka mengeluarkan hasil survei tandingan bahwa lebih dari 70 persen masyarakat menolak penundaan pemilu.
Pengusaha juga menyangkal klaim Bahlil bahwa mereka mendukung penundaan pemilu.
Artinya, semua opini yang mengatakan masyarakat mau menunda pemilu adalah bohong besar?
Dan semua ini jelas merupakan blunder besar merusak kredibilitas pemerintah di dalam negeri maupun luar negeri.
Baca Juga:
Kementerian Pertanian Perkuat Sinergi untuk Percepatan Swasembada Jagung di Kalimantan Tengah
Ikut Hadiri Pembongkaran Pagar Laut di Tangerang, Said Didu: Saya Menduga ini Perampokan Aset Negara
Ketiga, upaya tidak berhenti sampai di situ, bahkan blunder semakin parah. Airlangga dan Luhut mulai penetrasi. Airlangga bertemu Surya Paloh, ketum Nasdem.
Luhut, melalui wawancara dengan Deddy Corbuzier, mengatakan menagkap aspirasi masyarakat mendukung penundaan pemilu.
Mungkin mereka berpendapat kalau partai politik sepakat rakyat bisa apa? Masyarakat dianggap hanya kerikil kecil yang tidak berarti.
Kedaulatan Rakyat hanya dianggap sebagai sampah? Tetapi semua ini kandas. Masyarakat terus melawan.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Enam partai politik rupanya mendengar pekikan rakyat, dan serta merta menyatakan menolak penundaan pemilu.
Bahkan dukungan untuk amandemen konstitusi juga ditarik kembali, khawatir disusupkan penumpang gelap kudeta konstitusi.
Kali ini peran Luhut menjadi terang-benderang, dari yang sebelumnya mengatakan tidak tahu apa-apa mengenai penundaan pemilu.
Keempat, blunder semakin parah dan brutal. Menunjukkan kondisi objektif semakin kalap.
Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia atau APDESI diobrak-abrik. Mereka yang seharusnya tidak berpolitik praktis diseret untuk deklarasi Jokowi 3 periode.
Namun, hanya dalam hitungan jam semua terbongkar, ternyata APDESI tersebut bukan organisasi yang sah versi Kemenkumham.
Hancur sudah reputasi Luhut dan Jokowi. Semua mengarah pada kebohongan besar.
Masyarakat menduga kuat bahwa rencana perpanjangan masa jabatan ini sebenarnya keinginan petinggi istana: Luhut bahkan Jokowi sendiri?
Dengan demikian, semua jalan sudah tertutup. Sebaiknya, semua upaya penundaan pemilu atau Jokowi 3 periode segera dihentikan.
Karena sudah tidak ada jalan lain lagi menuju ke sana. Kecuali satu. Yaitu, menciptakan keadaan darurat agar pemilu tidak bisa dilaksanakan.
Tetapi, ini malah akan menjadi blunder terbesar, yang langsung memantik api revolusi.
Karena rakyat tahu bahwa kondisi darurat tersebut adalah rekayasa. Dalam sekejap, pemerintah bisa jatuh. Waspada!
Opini: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies). ***